Monday, December 25, 2017

Titik-titik hujan



      Gemrecik air  yang menetes dari atap rumah yang menetes di teras rumah terasa memecah keheningan di tengah-tengah sepi. Malam itu udara terasa begitu menusuk ruas-ruas persendianku. Dengan ditemani secangkir kopi hitam pahit aku duduk termenung di teras rumah sambil mendengar lantunan radio tua milik ayahku. Fikirku yang pada malam itu masih diselimuti kebingungan memikirkan jalan keluar dari setiap masalah yang kini sedang aku hadapi. Memang benar, akhir-akhir ini aku dihadapkan dengan kebimbangan yang menurutku sangat membuatku seperti pecah kepala. Hari-hari kulewati dengan teman-teman dan sahabat yang pikirku mereka adalah orang paling mengerti tentang hidupku. Setiap kali nongkrong bareng mereka rasanya selalu ingin mengeluarkan setiap bait fikir yang membebaniku saat ini. Sampai malam ini, rasanya fikirku masih terbebani dengan kebimbangan dan kebingungan.
Lamunanku pada malam itu terpecah ketika kudengar suara seorang wanita paruh baya dengan nada lembutnya memanggilku. “Kok jam segini belum tidur rom..?”, ternyata itu adalah suara ibuku yang terbangun dari istirahat malamnya.
 “Belum bu, malam-malam begini terlalu sayang kalau hanya dilewatkan begitu saja. Terlalu banyak inspirasinya sihh hehe..” jawabku dengan sedikit gurau.
 “Ya sudah ibu mau tidur lagi, jangan tidur terlalu larut, udara malam tidak baik untuk kesehatan”.
“Iya.. lagian besuk kan sudah tidak ada pelajaran lagi, jadi bisa berangkat agak siang hehe..” jelasku.
“Dasar kamu ini rom..rom.. memang suka begadang”.
“Ibu itu seperti baru tau aku satu dua hari saja”, jawabku dengan raut senyum diwajahku.
Memang, bagiku malam adalah hal indah yang amat sayang jika hanya dilewatkan dengan mengurung diri di kamar atau tidur. Malam mengisyaratkan kepada kita kalau yang gelap pun akan menjadi indah bila dihiasi dengan kebaikan. Seperti halnya malam yang akan terlihat indah jika jutaan bintang di angkasa mengedipkan matanya di tengah-tengah kegelapan. Begitupun hidup, hidup ini akan terasa indah jika dihiasi dengan keikhlasan dan ketulusan dari hati yang sejatinya  hati adalah tempat segala ikhlas. Iya.. hati adalah secuil dari bagian tubuh manusia yang sangat luar biasa dalam kita melangkahkan raga melewati jengkal demi jengkal kehidupan.
Masih dengan posisi yang sama dengan tadi, aku masih saja merenungkan masa depanku yang sampai detik ini masih mamang dan belum jelas akan aku arahkan kemana. Antara UIN Syarif Hidayatullah di Tangerang atau UMM dan UNM di Malang. Dua pilihan yang begitu membuatku harus memutar otak dan benar-benar harus menentukan satu pilihan langkah. Memang sebenarnya dari kedua pilihan tadi belum belum begitu pasti aku bisa melanjutkan studiku disana. Dengan keterbatasan dana pada keluarga dan juga ayahku yang sebentar lagi harus memikirkan sekolah adikku.
Kalau aku memutuskan untuk menapakkan langkah hidupku kedepan di Tangerang, memang ada Omku disana. Beliau sudah disana sejak usia belia. Kalau dipikir-pikir beliau adalah sosok yang lumayan kuat mental. Bayangkan saja, dari usia yang masih 17 tahun ia disana, nyatanya bisa bertahan dengan lingkungan yang teramat keras hingga saat ini. Rencana awalku, sebelum aku kuliah dan mendapatkan kos disana, terlebih aku akan mencari pekerjaan dan  tinggal bersama Om serta Tanteku.
Sedangkan jika aku lebih memilih untuk menjatuhkan sisa-sisa harapan yang ada pada diriku saat ini di tempat kuliah Masku, di Malang, aku akan tinggal dengannya disana. Iya, Malang adalah kota incaranku sejak dulu untuk menempuh pendidikan Sarjanaku. Entah mengapa, hatiku begitu damai ketika mendengar nama kota yang satu ini. Kata orang sih malang memang kota yang sangat keras masyarakatnya. Namun, hal ini tidak menyurutkan obsesiku untuk bisa belajar dan menuntut ilmu disana.
Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Jam dinding klasik di tembok rumahku ternyata sudah menunjukkan pukul dua belas malam lebih.

No comments:

Post a Comment