Saturday, September 22, 2018

Diujung Persimpangan


         
        Kopi panas yang sedari tadi menemaniku, tanpa kusadari sudah tak bersuhu. Aku baru tersadar, radio tua yang menemaniku dengan senandung kenangannya, ternyata sudah tak bersuara. Menunjukkan bahwa waktu memang benar-benar sudah malam dan program siarannya pun sudah usai. Aku segera bangkit dan mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk melanglah ke tempat tidur sambil membawa cangkir bekas kopiku tadi.
            Malam itu terasa berbeda dari malam-malam biasanya. Suhu di kamarku yang biasanya tidak terlalu dingin, malam ini terasa amat begitu mengajakku untuk segera mengencangkan selimut dan memejamkan mata yang memang sedari pagi aku belum terlelap sedikitpun. Dibalik selimut tebalku aku masih saja berfikir, akankankah keinginanku untuk melanjutkan studiku di tingkat Universitas bisa tercapai? Entahlah, biarkan waktu beberapa bulan kedepan yang akan menjawabnya.
            Walaupun ada seorang gadis pernah bilang kepadaku bahwa ada seorang penulis terkenal mengatakan “Mari sejenak kita menepiskan perkara waktu. Karena waktu bisu dan buta, ia akan tetap berjalan tanpa mempedulikan kita. Jadi kita tak bisa membuat waktu menjawab sebuah pertanyaan”.  Namun hal itu aku rasa tak berlaku pada diriku saat ini. Kali ini aku hanya bisa bertawakal kepada Allah agar semua yang aku awali dengan Bismillah ini, nantinya bisa berujung Alhamdulillah.
            Hari-hari kujalani seperti biasa. Tidak ada yang lebih dan spesial buatku. Nongkrong dengan teman-teman dan sahabat-sahabat dekatku, ngopi bareng, kemudian mencurahkan segala kegundahan yang menitik di hati. Mereka adalah Tomi, Bagus, Koko, dan satu orang sahabat perempuanku bernama Alisa. Dengan merekalah aku selalu berbagi suka dukaku. Begitupun mereka yang selalu berbagi kisah dan kasih kepadaku. Kami bersahabat memang belum terlalu lama. Baru sejak kelas dua SMA. Namun waktu yang singkat itu tidak mempengaruhi rasa saling percaya di antara kami.
~~
            Hal yang paliong kutakutkan selama ini berujung kenyataan. Rasa nyaman yang sedari beberapa minggu lalu baru tumbuh, kini harus kuterima bahwa yang manis tak akan selalu berujung manis. Bualan-bualan yang keluar dari mulut, tak selalu berasal dari hati. Bahkan dengan pandainya jari-jemari itu menari di atas keypad  smartphone  yang dari beberapa minggu yang lalu saling bertukar pesan singkat lewat sosial media. Entah kenapa rasa itu begitu cepat hadir di sela-sela sendiri, sepi, dan hati yang tak kunjung bersandar. Sejujurnya aku paling benci dengan hal-hal yang seperti ini. Hati ini begitu berontak dan enggan beradu dengan hal yang berbau kekecewaan berujung retak.
            Anjani, iya nama yang indah memang. Nama yang kurang lebih beberapa bulan yang lalu kukenal lewat sebuah organisasi pelajar di kotaku. Kebetulan aku ditunjuk sebagai salah satu perwakilan dari sekolahku untuk dikirimkan ke Kabupaten. Aku terbilang siswa yang aktif di sekolah. Mengikuti beberapa kegiatan ekstra kurikuler dan juga organisasi-organisasi diluar sekolah. Selalu penasaran dan punya rasa ingin tau yang cukup tinggi itulah yang membuatku selalu semangat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan baru yang sebelumnya belum pernah aku ikuti.
            Pada saat kegiatan di organisasi itu, aku belum sempat berkenalan dengan gadis yang bernama Anjani itu. Namun sepulang dari kegiatan itu, hatiku selalu diliputi oleh rasa penasaran dan memaksa rasa keberanianku untuk menghubunginya lewat whatsapp atau aplikasi sosial media yang sering disebut WA. Aku mendapat nomornya setelah kami tergabung dalam grup whatsapp  yang dibuat oleh ketua organisasi yang baru saja aku tergabung kedalamnya.
”Halo kak, dari sekolah mana? Aku temen satu organisasimu.” sebuah kata-kata yang terkesan sok akrab aku kirimkan ke sebuah nomor dengan foto profil wajah manis seorang gadis yang kuketahui namanya Anjani setelah dia membalas pesan yang kukirimkan.
“Hai, kamu Dani ya? Yang kemarin duduk paling pojok hehe, kenalin aku Anjani dari SMA 26" Jantungku seakan mempercepat aliran darah dalam setiap nadiku ketika kudapati pesanku dibalas yang ternyata dia sudah tau namaku. Saat itu entah kenapa rasa jenuh yang akhir-akhir ini selalu berteduh dalam jiwa muda yang hatinya tengah di landa gundah ini tiba-tiba tumbuh senyuman-senyuman kecil yang aku sendiri tidak tau itu pertanda apa. Ya semoga saja bukan pertanda bahwa hati ini harus bertambah retak lagi.
            Sejak dari perkenalan lewat itu, aku jadi lebih sering chattingan dengannya. Bahkan bisa dikatakan hampir setiap hari. Aku juga mulai berani menanyakan hal-hal yang agak bersifat pribadi. “Udah makan belum, lagi apa, lagi dimana” dan berbagai pertanyaan lain selalu kulontarkan agar kami tidak kehabisan topik untuk dibahas. Semakin hari dan semakin kesini hubunganku dengan gadis yang bernam Anjani itu semakin dekat, entah kedekatan itu hanya anggapanku saja atau kami beranggapan sama, yang jelas aku merasakan ada hal yang berbeda setiap lagi berbincang-bincang dengannya walaupun hanya melalui media sosial. Ya palimg tidak itu bisa membuat rasa sepi sepi dalam diriku berubah jadi rasa nyaman setiap kali mendengar kabar darinya. Mengkin ini hanya perasaanku saja atau mungkin memang benar-benar rasa yang tumbuh dari hati yang sepi aku sendiri tidak tau. Seringkali amigdalaku  terus melawan dan enggan untuk melawan rasa yang kian hari tak tau arus berhenti dimana. Mungkin benar kalau rasa itu tidak untuk dilawan, melainkan untuk diikuti. Rasa itu ibarat air yang mengalir disungai-sungai kecil. Ia tidak tau kapan akan sampai ke laut. Namun ia punya keyakinan bahwa kemanapun air itu mengalir, hanya akan ada satu muara yang ia tuju, yaitu laut. Laut itu layaknya sebuah hati. Yang menjadi ujung dari semua rasa, entah itu rasa kecewa, suka, dan sakit yang teramat sekalipun. Hati memang tak pernah bisa ditebak, kapan ia harus bahagia, kapan ia harus kecewa, bahkan hati tak tau kapan ia harus bisa menahan rasa kecewa yang sangat mungkin untuk hampir dan singgah di dalamnya.
            Seperti layaknya hatiku saat ini, rasa takut akan kecewa yang sedari awal aku khawatirkan, berujung pada kenyataan dimana kekecewaan kadang harus kita rasakan bahkan lebih kalau kita nikmati. Memang menikmati hal yang diluar dari keinginan kita itu tidaklah mudah. Tidak semudah menyeduh secangkir kopi bertambahkan krim susu dicampur dengan sedikit gula lalu dituangkan air kedalamnya. Kemudian ia akan menjafi secangkir kopio susu yang menyuguhkan rasa nikmat bagi siapapun yang meminumnya. Namun kita juga juga harus bisa belajar dari filosofi bahwa kenyataan terkadang harus terima dengan delapangan hati dan keinkhlasan agar rasa sakit dan kecewa itu, kemudian menjadi hal yang bisa kita nikmati dan kita lalui dengan mudah.
            Setelah sekian dekatnya aku dengan sosok yang belum lama ini membangunkan hati yang sudah sekian lama tertidur sejenak melupakan rasa, sosok yang selama ini mengisi kekosongan jiwa dan telah mengukir kenangan bersama, ada saatnya hati harus kembali menjalani hari tanpa hadirnya dalam baris pertama pada pesan WA. Anjani yang selama ini baik, yang selalu memotivasi dan ada setiap kali aku mengeluh dan meminta bantuanya, kini harus kuanggap jahat

Monday, December 25, 2017

Titik-titik hujan



      Gemrecik air  yang menetes dari atap rumah yang menetes di teras rumah terasa memecah keheningan di tengah-tengah sepi. Malam itu udara terasa begitu menusuk ruas-ruas persendianku. Dengan ditemani secangkir kopi hitam pahit aku duduk termenung di teras rumah sambil mendengar lantunan radio tua milik ayahku. Fikirku yang pada malam itu masih diselimuti kebingungan memikirkan jalan keluar dari setiap masalah yang kini sedang aku hadapi. Memang benar, akhir-akhir ini aku dihadapkan dengan kebimbangan yang menurutku sangat membuatku seperti pecah kepala. Hari-hari kulewati dengan teman-teman dan sahabat yang pikirku mereka adalah orang paling mengerti tentang hidupku. Setiap kali nongkrong bareng mereka rasanya selalu ingin mengeluarkan setiap bait fikir yang membebaniku saat ini. Sampai malam ini, rasanya fikirku masih terbebani dengan kebimbangan dan kebingungan.
Lamunanku pada malam itu terpecah ketika kudengar suara seorang wanita paruh baya dengan nada lembutnya memanggilku. “Kok jam segini belum tidur rom..?”, ternyata itu adalah suara ibuku yang terbangun dari istirahat malamnya.
 “Belum bu, malam-malam begini terlalu sayang kalau hanya dilewatkan begitu saja. Terlalu banyak inspirasinya sihh hehe..” jawabku dengan sedikit gurau.
 “Ya sudah ibu mau tidur lagi, jangan tidur terlalu larut, udara malam tidak baik untuk kesehatan”.
“Iya.. lagian besuk kan sudah tidak ada pelajaran lagi, jadi bisa berangkat agak siang hehe..” jelasku.
“Dasar kamu ini rom..rom.. memang suka begadang”.
“Ibu itu seperti baru tau aku satu dua hari saja”, jawabku dengan raut senyum diwajahku.
Memang, bagiku malam adalah hal indah yang amat sayang jika hanya dilewatkan dengan mengurung diri di kamar atau tidur. Malam mengisyaratkan kepada kita kalau yang gelap pun akan menjadi indah bila dihiasi dengan kebaikan. Seperti halnya malam yang akan terlihat indah jika jutaan bintang di angkasa mengedipkan matanya di tengah-tengah kegelapan. Begitupun hidup, hidup ini akan terasa indah jika dihiasi dengan keikhlasan dan ketulusan dari hati yang sejatinya  hati adalah tempat segala ikhlas. Iya.. hati adalah secuil dari bagian tubuh manusia yang sangat luar biasa dalam kita melangkahkan raga melewati jengkal demi jengkal kehidupan.
Masih dengan posisi yang sama dengan tadi, aku masih saja merenungkan masa depanku yang sampai detik ini masih mamang dan belum jelas akan aku arahkan kemana. Antara UIN Syarif Hidayatullah di Tangerang atau UMM dan UNM di Malang. Dua pilihan yang begitu membuatku harus memutar otak dan benar-benar harus menentukan satu pilihan langkah. Memang sebenarnya dari kedua pilihan tadi belum belum begitu pasti aku bisa melanjutkan studiku disana. Dengan keterbatasan dana pada keluarga dan juga ayahku yang sebentar lagi harus memikirkan sekolah adikku.
Kalau aku memutuskan untuk menapakkan langkah hidupku kedepan di Tangerang, memang ada Omku disana. Beliau sudah disana sejak usia belia. Kalau dipikir-pikir beliau adalah sosok yang lumayan kuat mental. Bayangkan saja, dari usia yang masih 17 tahun ia disana, nyatanya bisa bertahan dengan lingkungan yang teramat keras hingga saat ini. Rencana awalku, sebelum aku kuliah dan mendapatkan kos disana, terlebih aku akan mencari pekerjaan dan  tinggal bersama Om serta Tanteku.
Sedangkan jika aku lebih memilih untuk menjatuhkan sisa-sisa harapan yang ada pada diriku saat ini di tempat kuliah Masku, di Malang, aku akan tinggal dengannya disana. Iya, Malang adalah kota incaranku sejak dulu untuk menempuh pendidikan Sarjanaku. Entah mengapa, hatiku begitu damai ketika mendengar nama kota yang satu ini. Kata orang sih malang memang kota yang sangat keras masyarakatnya. Namun, hal ini tidak menyurutkan obsesiku untuk bisa belajar dan menuntut ilmu disana.
Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Jam dinding klasik di tembok rumahku ternyata sudah menunjukkan pukul dua belas malam lebih.