Kopi panas yang sedari tadi menemaniku, tanpa kusadari sudah tak bersuhu. Aku baru tersadar, radio tua yang menemaniku dengan senandung kenangannya, ternyata sudah tak bersuara. Menunjukkan bahwa waktu memang benar-benar sudah malam dan program siarannya pun sudah usai. Aku segera bangkit dan mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk melanglah ke tempat tidur sambil membawa cangkir bekas kopiku tadi.
Malam itu terasa berbeda dari
malam-malam biasanya. Suhu di kamarku yang biasanya tidak terlalu dingin, malam
ini terasa amat begitu mengajakku untuk segera mengencangkan selimut dan
memejamkan mata yang memang sedari pagi aku belum terlelap sedikitpun. Dibalik
selimut tebalku aku masih saja berfikir, akankankah keinginanku untuk
melanjutkan studiku di tingkat Universitas bisa tercapai? Entahlah, biarkan
waktu beberapa bulan kedepan yang akan menjawabnya.
Walaupun ada seorang gadis pernah bilang
kepadaku bahwa ada seorang penulis terkenal mengatakan “Mari sejenak kita menepiskan perkara waktu. Karena waktu bisu dan buta,
ia akan tetap berjalan tanpa mempedulikan kita. Jadi kita tak bisa membuat
waktu menjawab sebuah pertanyaan”. Namun
hal itu aku rasa tak berlaku pada diriku saat ini. Kali ini aku hanya bisa
bertawakal kepada Allah agar semua yang aku awali dengan Bismillah ini, nantinya bisa berujung Alhamdulillah.
Hari-hari kujalani seperti biasa.
Tidak ada yang lebih dan spesial buatku. Nongkrong dengan teman-teman dan
sahabat-sahabat dekatku, ngopi bareng, kemudian mencurahkan segala kegundahan
yang menitik di hati. Mereka adalah Tomi, Bagus, Koko, dan satu orang sahabat
perempuanku bernama Alisa. Dengan merekalah aku selalu berbagi suka dukaku. Begitupun
mereka yang selalu berbagi kisah dan kasih kepadaku. Kami bersahabat memang
belum terlalu lama. Baru sejak kelas dua SMA. Namun waktu yang singkat itu
tidak mempengaruhi rasa saling percaya di antara kami.
~~
Hal yang paliong kutakutkan selama
ini berujung kenyataan. Rasa nyaman yang sedari beberapa minggu lalu baru
tumbuh, kini harus kuterima bahwa yang manis tak akan selalu berujung manis.
Bualan-bualan yang keluar dari mulut, tak selalu berasal dari hati. Bahkan
dengan pandainya jari-jemari itu menari di atas keypad smartphone yang dari
beberapa minggu yang lalu saling bertukar pesan singkat lewat sosial media.
Entah kenapa rasa itu begitu cepat hadir di sela-sela sendiri, sepi, dan hati
yang tak kunjung bersandar. Sejujurnya aku paling benci dengan hal-hal yang
seperti ini. Hati ini begitu berontak dan enggan beradu dengan hal yang berbau
kekecewaan berujung retak.
Anjani, iya nama yang indah memang.
Nama yang kurang lebih beberapa bulan yang lalu kukenal lewat sebuah organisasi
pelajar di kotaku. Kebetulan aku ditunjuk sebagai salah satu perwakilan dari
sekolahku untuk dikirimkan ke Kabupaten. Aku terbilang siswa yang aktif di
sekolah. Mengikuti beberapa kegiatan ekstra kurikuler dan juga
organisasi-organisasi diluar sekolah. Selalu penasaran dan punya rasa ingin tau
yang cukup tinggi itulah yang membuatku selalu semangat untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan baru yang sebelumnya belum pernah aku ikuti.
Pada saat kegiatan di organisasi
itu, aku belum sempat berkenalan dengan gadis yang bernama Anjani itu. Namun
sepulang dari kegiatan itu, hatiku selalu diliputi oleh rasa penasaran dan
memaksa rasa keberanianku untuk menghubunginya lewat whatsapp atau aplikasi sosial media yang sering disebut WA. Aku
mendapat nomornya setelah kami tergabung dalam grup whatsapp yang dibuat oleh
ketua organisasi yang baru saja aku tergabung kedalamnya.
”Halo
kak, dari sekolah mana? Aku temen satu organisasimu.” sebuah kata-kata yang
terkesan sok akrab aku kirimkan ke sebuah nomor dengan foto profil wajah manis
seorang gadis yang kuketahui namanya Anjani setelah dia membalas pesan yang
kukirimkan.
“Hai,
kamu Dani ya? Yang kemarin duduk paling pojok hehe, kenalin aku Anjani dari SMA
26" Jantungku seakan mempercepat aliran darah dalam setiap nadiku ketika
kudapati pesanku dibalas yang ternyata dia sudah tau namaku. Saat itu entah
kenapa rasa jenuh yang akhir-akhir ini selalu berteduh dalam jiwa muda yang
hatinya tengah di landa gundah ini tiba-tiba tumbuh senyuman-senyuman kecil
yang aku sendiri tidak tau itu pertanda apa. Ya semoga saja bukan pertanda
bahwa hati ini harus bertambah retak lagi.
Sejak dari perkenalan lewat itu, aku
jadi lebih sering chattingan
dengannya. Bahkan bisa dikatakan hampir setiap hari. Aku juga mulai berani
menanyakan hal-hal yang agak bersifat pribadi. “Udah makan belum, lagi apa,
lagi dimana” dan berbagai pertanyaan lain selalu kulontarkan agar kami tidak
kehabisan topik untuk dibahas. Semakin hari dan semakin kesini hubunganku
dengan gadis yang bernam Anjani itu semakin dekat, entah kedekatan itu hanya
anggapanku saja atau kami beranggapan sama, yang jelas aku merasakan ada hal
yang berbeda setiap lagi berbincang-bincang dengannya walaupun hanya melalui
media sosial. Ya palimg tidak itu bisa membuat rasa sepi sepi dalam diriku
berubah jadi rasa nyaman setiap kali mendengar kabar darinya. Mengkin ini hanya
perasaanku saja atau mungkin memang benar-benar rasa yang tumbuh dari hati yang
sepi aku sendiri tidak tau. Seringkali amigdalaku
terus melawan dan enggan untuk
melawan rasa yang kian hari tak tau arus berhenti dimana. Mungkin benar kalau
rasa itu tidak untuk dilawan, melainkan untuk diikuti. Rasa itu ibarat air yang
mengalir disungai-sungai kecil. Ia tidak tau kapan akan sampai ke laut. Namun
ia punya keyakinan bahwa kemanapun air itu mengalir, hanya akan ada satu muara
yang ia tuju, yaitu laut. Laut itu layaknya sebuah hati. Yang menjadi ujung
dari semua rasa, entah itu rasa kecewa, suka, dan sakit yang teramat sekalipun.
Hati memang tak pernah bisa ditebak, kapan ia harus bahagia, kapan ia harus
kecewa, bahkan hati tak tau kapan ia harus bisa menahan rasa kecewa yang sangat
mungkin untuk hampir dan singgah di dalamnya.
Seperti layaknya hatiku saat ini,
rasa takut akan kecewa yang sedari awal aku khawatirkan, berujung pada
kenyataan dimana kekecewaan kadang harus kita rasakan bahkan lebih kalau kita
nikmati. Memang menikmati hal yang diluar dari keinginan kita itu tidaklah
mudah. Tidak semudah menyeduh secangkir kopi bertambahkan krim susu dicampur
dengan sedikit gula lalu dituangkan air kedalamnya. Kemudian ia akan menjafi
secangkir kopio susu yang menyuguhkan rasa nikmat bagi siapapun yang
meminumnya. Namun kita juga juga harus bisa belajar dari filosofi bahwa
kenyataan terkadang harus terima dengan delapangan hati dan keinkhlasan agar
rasa sakit dan kecewa itu, kemudian menjadi hal yang bisa kita nikmati dan kita
lalui dengan mudah.
Setelah sekian dekatnya aku dengan
sosok yang belum lama ini membangunkan hati yang sudah sekian lama tertidur
sejenak melupakan rasa, sosok yang selama ini mengisi kekosongan jiwa dan telah
mengukir kenangan bersama, ada saatnya hati harus kembali menjalani hari tanpa
hadirnya dalam baris pertama pada pesan WA. Anjani yang selama ini baik, yang
selalu memotivasi dan ada setiap kali aku mengeluh dan meminta bantuanya, kini
harus kuanggap jahat